Kisah Mitologi Sutasoma



Dikisahkan Raja Sri Mahaketu (seorang keturunan Kuru) di Hastina diancam oleh rombongan raksasa yang merusak dusun-dusun dan pertapaan-pertapaan. Menurut kepala Brahman (munindra) hanya seorang putra keturunan raja sajalah yang dapat menghancurkan rombongan raksasa itu. Terdorong oleh pendapat itu, raja ingin mempunyai putra yang diharapkan itu. Raja melakukan yoga di hadapan Jina. Raja mendapatkan wahyu bahwa sang Bodhisatta sendiri yang akan menjadi putranya. Tidak beberapa lama istri raja Dewi Prajnyadhari mengandung dan setelah sampai waktunya melahirkan seorang putra yang merupakan titisan Batara Jina (Sang Budha) dan kelahirannya membawa berkah bagi seluruh alam. Yang sakit sembuh, orang albino mejadi tidak albino lagi, orang sakit kulit sembuh, dan seterusnya. Para dewa turun di dunia dan menghormatinya dan mengatakan bahwa sang Jina telah dilahirkan. Putra itu diberi nama Sutasoma.
Pangeran Sutasoma tumbuh dewasa dengan cepat. Parasnya sangat rupawan sehingga membuat kaum hawa diseluruh kerajaan Hastina jatuh hati padanya. Namun, Sang Sutasoma tidak berminat untuk kawin. Dia tidak ingin menikah, tidak ingin menikmati kebahagiaan dunia. Bahkan tidak ingin menduduki kursi raja Hastina menggantikan ayahnya. Padahal, semua orang sudah menunggu Sutasoma naik menjadi raja karena telah tersohor bahwa dia adalah orang yang sangat pandai lagi berbudi mulia selain sebagai seorang yang rupawan. Satu-satunya keinginannya adalah untuk menjadi pertapa yang itu artinya dia akan melupakan segala urusan duniawi. Padahal, saat itu dunia sedang kisruh karena kekacauan yang dibuat raja raksasa bernama Porusada (merupakan nama dalam wujud jahatnya yang berarti penjagal manusia karena dikisahkan raja Porusada suka memakan manusia, nama aslinya Raja Ratnakanda). Dan telah diramalkan bahwa Sang Titisan Buddha inilah satu-satunya yang bisa mengalahkan raksasa itu.
Sutasoma kukuh pada pendiriannya. Maka, berangkatlah ia diam-diam keluar dari kerajaan untuk bertapa di pegunungan. Berbagai pengalaman didapatkan Sutasoma dalam pengembaraannya. Sutasoma telah melewatkan dusun-dusun dan sampai di kaki pegunungan. Pada waktu matahari tenggelam ia memasuki sebuah kuburan dan menghormati Dewi Bhairawi di sebuah candi untuknya. Setelah melakukan yoga, Sri Widyatkarali (nama lain dari Bhairawi atau Durga) menampakkan dirinya dan menunduk di hadapan dan memuja Sutasoma, sebab Sang Sutasoma telah dapat menaklukkan segala hawa nafsunya, Sang Dewi mengajarkan mantra yang disebut Mahahredaya, mantra itu dapat menghancurkan segala kejahatan kekuatan musuh, segala macam penyakit dan kemalangan. Sang Dewi juga menunjukkan pertapaan Bhatara Guru di Gunung Semeru. Setelah itu sang Dewi lenyap dari penglihatan.
Sutasoma melanjutkan perjalanan menuju ke puncak Gunung Semeru seperti yang disarankan Sang Dewi Durga. Setelah tujuh hari perjalanan sampailah ia di sebuah pertapaan Gunung Semeru. Ia disambut pemimpin pertapaan bernama Kesawa. Dalam pembicaraan Kesawa menanyakan tujuannya Sutasoma sampai di pertapaan itu. Sutasoma meminta petunjuk agar dapat mencapai puncak Gunung Semeru. Kesawa lalu bersedia menemani Sutasoma ke pertapaannya.
Di perjalanan Sutasoma bertemu seorang makhluk jahat berkepala gajah yang bernama Gajawaktra. Dikisahkan, Sang Sutasoma mendatangi Gajawaktra untuk memberinya peringatan agar tidak berbuat jahat lagi. Gajawaktra marah, dia hendak menyerang Sutasoma. Tapi, seketika dia dikalahkan oleh Sutasoma dan akhirnya ia bertobat. Selanjutnya, ia menjadi murid Sutasoma.
Kemudian Sutasoma melanjutkan perjalanan, ia bertemu Nagaraja, seekor naga. Gajawaktra bermaksud membunuh naga tetapi dilarang oleh Sutasoma. Nagaraja bersujud di hadapan Sutasoma dan menjadi muridnya.
Perjalanan Sutasoma berlanjut, ia bertemu seekor harimau betina yang hendak melahap anaknya sendiri. Sutasoma menghalang-halangi maksud tersebut dan bersedia menyerahkan dirinya sebagai gantinya. Sutasoma mati di tangan harimau namun harimau menyadari perbuatannya dan tidak melahap Sang Sutasoma. Dunia akan berkabung jika mendengar Sutasoma mati. Oleh karena itu Dewa Indra turun ke dunia menghidupkan lagi Sutasoma. Akhirnya harimau menjadi murid Sutasoma.
Setelah sampai di pertapaannya, Sutasoma bertapa sendirian. Beragam cobaan didapatkannya, namun semua dapat dilaluinya. Diceritakan bahwa para dewa di kahyangan tidak rela Sutasoma menjadi pertapa. Mereka ingin agar Sang Titisan Budha naik takhta, menjadi raja, memimpin dunia, dan memerangi angkara sehingga damailah seluruh dunia. Untuk itu, dikirimlah dewi-dewi cantik untuk menggoda Sutasoma agar dia terbangun dari tapanya.
Tapi, Sutasoma teguh dalam pertapaannya. Dewi-dewi cantik yang menggodanya tidak dia hiraukan. Hingga akhirnya Dewa Indra yang turun tangan. Dewa Indra menjelma menjadi seorang perempuan yang sangat cantik. Ratusan kali lebih cantik dari dewi tercantik di kahyangan. Namun, Sutasoma tetap teguh. Ia tidak tertarik sama sekali dengan godaan-godaan yang di lancarkan perempuan cantik penjelmaan Indra.
Merasa yang ia lakukan percuma, Indra kembali ke wujud aslinya. Lalu, ia memohon agar Sutasoma membatalkan tapanya. Ia memohon agar Sutasoma berbelas kasih pada seluluh dunia yang akan sengsara jika Sutasoma menjadi pertapa. Jika Sutasoma menjadi pertapa, maka kejahatan tidak ada yang bisa memerangi. Akhirnya, dunia jatuh pada kegelapan dan kesengsaraan. Dengan cara ini, akhirnya Sutasoma bersedia mengakhiri tapanya.
Setelah mengakhiri tapanya, Sutasoma kembali ke kerajaan Hastina. Dalam perjalanan pulangnya, ia melewati Negeri Kasipura, kerajaan milik saudara sepupunya Raja Datraputra. Raja Datraputra disebit pula Raja Dasabahu karena saat bertarung bisa berubah wujud menjadi bertangan sepuluh. Lalu, Sutasoma dinikahkan dengan adik bungsu Raja Dasabahu yang bernama Candrawati. Sutasoma dan Candrawati menikah di sebuah pulau yang sangat indah bagaikan surga. Setelah pernikahan itu, Sutasoma pulang ke Hastina dan naik takhtalah ia.
Sementara itu, di tempat lain, dikisahkan Raja Porusada, Sang Raja Raksasa tengah terluka parah dan hampir mati. Lalu, ia memohon pada Batara Kala agar ia disembuhkan. Sebagai gantinya, ia bernazar akan mempersembahkan seratus raja manusia untuk santapan Batara Kala. Permohonan Porusada dikabulkan. Seketika ia sembuh. Setelah itu, mulailah ia berburu raja manusia untuk dipersembahkan hidup-hidup pada Batara Kala.
Porusada menyebabkan banyak perang. Seluruh dunia dibuatnya geger. Singkat cerita, seratus orang raja telah dikumpulkan Raja Porusada untuk dipersembahkan pada Kala. Tapi, Batara Kala menolaknya. Ia mengatakan bahwa raja-raja itu tidak patut untuk menjadi santapannya. Sebagai gantinya, ia menginginkan raja Hastina. Batara Kala ingin agar Porusada mempersembahkan Raja Sutasoma untuk menjadi santapannya.
Maka, berangkatlah Porusada dengan membawa pasukan dan raja-raja bawahannya berperang ke Hastina. Dengan cepat, berita itu sampai ke Hastina. Mendengar bahwa Kala menginginkan dirinya, Sutasoma berniat untuk menyerahkan diri. Hal itu demi menghindari jatuhnya korba jika sampai Porusada membawa pasukannya merusak kerajaan. Namun, para kesatria dan raja-raja bawahannya tidak rela. Terutama adalah sang Mahapatih Jayapati dan sepupu raja sendiri, Raja Dasabahu. Maka, berangkatlah pasukan Hastina dengan dipimpin mereka menemui pasukan Raja Porusada dalam perang.
Diceritakan, perang sangat dahsyat. Perang terjadi siang dan malam karena di malam hari, kobaran api menyala terang bagaikan siang. Korban yang jatuh jutaan dari kedua belah pihak. Pada hari-hari terakhir, Mahapatih Jayapati dan Raja Dasabahu juga ikut gugur di medan laga.
Akhirnya, Raja Sutasoma turun sendiri ke medan perang dengan mengendarai keretanya. Keajaiban terjadi mengiringi kedatangan Sang Raja Titisan Budha. Ketika ia lewat, segala kerusakan hilang. Pohon-pohon yang terbakar hijau kembali. Prajurit-prajurit yang mati hidup kembali baik manusia maupun raksasa. Termasuk Mahapatih Jayapati dan Raja Dasabahu juga hidup kembali. Raja Sutasoma mendatangi Porusada untuk menyerahkan diri. Ia rela dirinya dipersembahkan pada Batara Kala asalkan Porusada tidak melanjutkan perang yang akan membawa banyak kesusahan.
Namun, Porusada yang tidak mengetahui hal itu berniat menyerang Sutasoma. Ia mengeluarkan aneka macam senjatanya yang sangat ampuh untuk menyerang Sutasoma. Tapi, semuanya tidak mempan. Akhirnya, ia merubah wujudnya menjadi Kalagnirudra yang sangat menakutkan. Ia seperti hendak menghancurkan dunia.
Melihat hal itu, Para dewa menjadi takut. Lalu, mereka turun dan memelas pada Porusada:

"Tuanku, engkau adalah guru kami. Janganlah melakukan hal ini! Punyailah belas kasih pada mahluk-mahlukmu yang hancur sebelum berakhirnya zaman (yuganta).
Meskipun keberanianmu dilipatkan seribu kali, karena engkau hendak mengalahkan raja Hastina, mustahil engkau bisa melakukannya. Meskipun dia seorang raja, namun beliau adalah titisan Buddha. Dan tidak ada perbedaan antara Hyang Buddha dan Hyang Siwa, raja para dewa.
Konon dikatakan bahwa wujud  Buddha dan Siwa itu berbeda. Mereka memang berbeda. Namun, bagaimana kita bisa mengenali perbedaannya dalam selintas pandang. Karena kebenaran yang diajarkan Buddha dan Siwa itu sesungguhnya satu jua. Mereka memang berbeda-beda. Namun, pada hakekatnya sama. Karena tidak ada kebenaran yang mendua".
(Bhineka Tunggal Ika tan hana Dharma Mangrwa) 
            Namun, kemurkaan Porusada tidak mereda. Akhirnya, para dewa memohon pada Sutasoma agar memusnahkan kemurkaan Porusada. Sutasoma mengabulkannya. Ia mengeluarkan senjata bajra yang bersinar terang seperti matahari. Sinarnya menerangi Porusada. Dan seketika, hilanglah keangkaraan Porusada. Ia menjadi jinak, terjernihkan hatinya.
Setelah Porusada menjadi baik, ia memohon maaf pada Sutasoma. Ia mengaku bahwa sesungguhnya ia hanya terpaksa demi menuruti keinginan Batara Kala karena terikat janji. Ia juga memohon agar Sutasoma mengurungkan niatnya menyerahkan diri pada Batara Kala. Namun, Sutasoma menolak. Ia meminta agar Porusada mengantarkannya kepada Batara Kala. Ia harus menyerahkan dirinya agar bisa menyelamatkan seratus orang raja yang tengah disekap di kediaman Kala. Dengan berat hati, Porusada mengantarkannya.
Sesampainya di kediaman Batara Kala, Sutasoma langsung menemui Batara Kala dan mengatakan bahwa ia siap di santap Sang Kala asalkan seratus orang raja yang telah dia sekap dibebaskan. Batara Kala menyetujuinya. Ia melepaskan seratus orang raja dan hendak menelan Sutasoma.
Tapi, ketika Kala mulai memasukkan Sutasoma ke dalam mulutnya, ketika tubuh Sutasoma menyentuh pangkal tenggorokan Kala, Kala berhenti menelan. Kejahatan dalam diri Kala telah hilang oleh kesucian hati Sutasoma. Sutasoma menyuruh Kala untuk meneruskan menelannya. Tapi, Kala malah urung menelan Sutasoma. Lalu, dia mengatakan bahwa sesungguhnya ia tidak bermaksud menyantap Sutasoma. Ia mnyuruh Porusada membawa Sutasoma padanya sebenarnya karena mendengar kemasyhuran Sutasoma dalam menjernihkan kejahatan yang ada dalam diri seseorang.
Sejak itu, Batara Kala bertobat. Ia melakukan tapabrata hingga akhirnya berwujud kembali sebagai Hyang Pasupati. Raja Ratnakanda/Porusada juga melaksanakan tapa dengan mengajak banyak raksasa lain. Sejak itu, raksasa tidak lagi berbuat jahat. Dunia aman sejahtera. Raja Ratnakanda akhirnya menjadi pengawal Buddha di Jinalaya. Dia tidak lagi berwujud raksasa.

0 komentar:

Posting Komentar

 

OFFICIAL PARTNERS

Image and video hosting by TinyPic

ONE PIECE

Image and video hosting by TinyPic