Tawan Karang adalah hukum kedaulatan kepulauan Bali yang diterima
dari zaman Bali Kuno (setidaknya mulai abad 9) hingga zaman Puputan
Badung (1906). Hukum Tawan Karang ini telah disebut dalam
prasasti-prasasti Bali Kuno, salah satunya Prasasti Julah, yang
dikeluarkan Raja Janasadhuwarmmadewa, pada bulan Cetra, tahun Saka 897
(atau 975 Masehi).
Hak Tawan Karang (tawan=rampasan; karang=tanah) menjelaskan bahwa
segala ‘eksistensi asing yang masuk ke pulau Bali’ dengan tidak sesuai
prosedur (terdampar atau terkatung-katung) adalah otomatis menjadi milih
warga/krama Bali. Baik berupa perahu terhempas yang tiada bertuan, atau
tuannya tidak bisa mengendalikan perahu sehingga karam, terdampar dan
ambruk, atau benda-benda yang hanyut dan terdampar di pantai Pulau Bali,
adalah milik krama Bali. Benda-benda tersebut otomatis menjadi pampasan
milik krama yang menemukannya.
Kasarnya: Apa yang karam di pantai Bali bisa dijarah warga. Itulah hak tawan karang.
Puputan Badung (1906), atau pengorbanan heroik Raja Badung dan
keluarga serta orang terpilih di sekitar kerajaan, pecah karena bermula
dari terdamparnya kapal Sri Komala di sekitar Desa Sanur dan Pulau
Serangan. Versi Belanda, kapal itu dijarah. Versi warga
Sanur-Serangan-Suwung, kapal itu terhempas dan tidak berisi muatan
berharga.
Sri Komala adalah merek kapal milik pengusaha peranakan Tionghoa yang
berlindung secara hukum dagang ke penjajah kompeni Belanda. Menurut
versi warga Sanur dan Serangan kapal itu hanya memuat batu. Menjadi
alibi Belanda untuk menyerang kedaulatan Bali. ‘Gedebege muat batun
cina‘ (Gerbong memuat batu-nya cina), begitu sindiran lagu anak-anak
Bali yang sampai saat ini masih disenandungkan dari era usai Puputan
Badung.
Raja Badung merekonfirmasi warga Sanur tentang apa yang terjadi.
Warga kukuh bahwa kapal Sri Tanjung karam, dan warga datang, bukan
menjarah. Kapal kosong tiada bermuatan berharga alias tanpa muatan
berharga. Pemilik kapal melapor ke kompeni bahwa kapalnya dijarah.
Kompeni selanjutnya bertindak. Kompeni/Belanda merasa berhak
mengintervensi karena merasa telah menandatangani kesepakatan
penghapusan Tawan Karang dengan Badung dan raja-raja lainnya di Bali.
Dengan dasar itu kompeni menagih ganti rugi atas kerugian kapal Sri
Komala yang konon dijarah warga (versi kompeni).
Raja Badung tidak terima. Versi Sanur-Serangan kapal tidak dijarah.
Keluarga Raja Badung mengumpulkan uang kepeng dan emas, bukan untuk
bayar ganti rugi, tapi dibawa serta ketika puputan/perang penghabisan.
Sambil mencibir tentara kompeni, Raja Badung menerjang maju dengan
tenang menghadapi mimis-peluru, istri-anak-punggawa dan abdinya
melemparkan emas dan uang ke depan hidung para tentara kompeni. Mereka
gugur dengan sebuah pernyataan: ‘Kau boleh ambil emas dan uang kami,
tapi bukan kedaulatan kami!‘
Memasuki akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, hak Tawan Karang telah
bergeser jauh. Berbalik arah mata kompas kita. Celakanya, pertarungan
dimulai di titik yang sama: Sanur-Serangan-Suwung. Bergeser dari Tawan
Karang menjadi tanah yang ditawan (karang katawan), alias dijarah.
Manisfestasinya: Pesisir dan laut diurug. Bahasa kedituane (sananya):
Reklamasi. Istilah mentereng yang kini menusuk dan menghujam hulu hati
religi-ekologi-sosiologi Bali.
Tragis berlipat tragis. Masuk ke abad 21, setelah Bali kehilangan
kedaulatan kepulauan Tawan Karang, makin ked-ked (mengerdil) menjadi
wates desa (batas desa), yang ditafsir sempit, sehingga sempadan pantai
dan sungai bisa seenaknya diurug dan dijadikan hak milik, oleh entitas
asing, disertifikasi bahkan diperjual-belikan demi keuntungan segelintir
orang.
Dalam kedaulatan Tawan Karang, jangankan mengurug pantai, apa saja yang terdampar di pantai Bali menjadi milik krama Bali.
Jika mau melihat konsep wates desa, maka sangat jelas: Sepadan sungai
dan pantai serta laut sekitar adalah milik desa pakraman. Jika
demikian: Bolehkah seorang/perusahaan mengurug sempadan sungai yang
masuk dalam wilayah desa tertentu? Bolehkah sebuah perusahaan mengurug
pesisir atau pantai sebuah desa pakraman? Terlebih dijadikan milik
perusahaan dan disertifikat untuk dijual?
Reklamasi adalah peristilahan destruktif dalam konteks Bali (dalam
hal ini Pulau Serangan sebagai contoh kasus yang terbengkalai hampir 20
tahun). Reklamasi bermakna: Mengurug sempadan sungai atau pantai, atau
perluasan pulau, oleh investor untuk diperjualbelikan. Sangat jelas
bukan demi kepentingan pakraman.
Lantas, di manakah letak eksistensi desa pakraman di sekitarnya?
Reklamasi melenggang atau bisa terjadi karena mandulnya desa pakraman
dalam menginterpretasi ‘wates desa pakraman’.
Hutan di sekitar desa pakraman memang bukan wilayah desa tertentu,
tapi pertanyaannya: Apakah desa pakraman berdiam diri jika terjadi
pengerusakan dan pembalakan liar di hutan sekitar desa pakramannya? Jika
terjadi pembalakan liar, risiko ekologis (banjir-longsor atau
ketidakharmonisan alam) akan pertama-tama ditanggung oleh krama desa
yang berdomisili di desa pakraman di sekitar hutan yang dirusak.
Jika sebuah desa pantainya diurug oleh ‘orang luar’ atau bekerja sama
dengan ‘oknum dari desa sendiri’, yang digunakan untuk memperkaya
dirinya sendiri, apakah desa pakraman diam berpangku tangan? Jika hal
itu diperbolehkan dan halal: Kenapa tidak desa pakraman saja bekerja
sama dengan investor atau dengan dana yang dikelola sendiri mereklamasi
pantai dan laut di sekitar desa pakraman?
Reklamasi adalah kegiatan masif yang akan berdampak secara ekologis
dan sosilogis terhadap desa pakraman sekitar wilayah tertentu. Sama
halnya dengan pembalakan liar di sebuah hutan dekat desa, atau
pengurugan sungai di wilayah pakraman, yang resiko ekologi dan
sosiologisnya berpotensi mengancam eksistensi ekologi-religiusitas dan
berdampak sosiologis terhadap desa-desa pakraman sekitarnya.
Dalam hal reklamasi Teluk Benoa, maka Desa Pakraman Sanur, Serangan,
Sidakarya, Suwung, Benoa, Jimbaran, Nusa Dua dan Tanjung Benoa,
selayaknya dan berhak bersepakat untuk mempertanyakan dampak ekologis,
religius, dan sosiologis dari reklamasi tersebut. Tentunya dengan kritis
dan kontruktif, bukan dalam cara-cara yang tidak ‘sehat’. Desa adat di
sekitar Tanjung Benoa dituntut mengkaji dengan bijak dan berargumentasi
dengan cerdas. Kalau tidak cerdas dan bijak kemungkinan yang timbul
sudah pasti konflik horisontal dan vertikal.
Perang di pesisir di Desa Julah, utara Bali, pada abad ke-9 dan ke-10
memperjuangkan Tawan Karang perlu kita lihat sebagai perjuangan leluhur
dalam menafsir dan membela kedaulatan desa pakraman dan kedaulatan
kepulauan Bali (Balidwipamandala). Perang Puputan Badung 1906, bukan
sikap konyol Raja Badung, bukan pula nekat tanpa logika, mereka memberi
statement lewat tubuh dan darah: ‘Ini soal kedaulatan
geografis-religius. Ini soal keimaman/sraddha kita dalam melihat ekologi
dan religiusitas secara utuh dan bulat.’
Tonggak terbesar sejarah Bali abad 21 adalah bersalinnya hukum Tawan
Karang menjadi ‘karang katawan‘ (karang=tanah/wilayah; katawan=dijarah).
Bali berubah dari sebuah pulau damai berdaulat menjadi pulau konflik
yang dicederai oleh berbagai kepentingan yang memboncengi reklamasi.
Dari pulau yang dulu boleh mengklaim apa yang karam, menjadi pulau yang
dijarah oleh apa yang karam.
Jadi itulah kurang lebih ironi Bali pada abad 21, kita sebagai generasi muda setidaknya harus menjaga keberadaan pulau ini dengan turut serta dalam upaya pelestarian (baik budaya maupun alam) salah satunya dengan menolak keras adanya reklamasi di Bali (Teluk Benoa).
Salam #BaliTolakReklamasi,
Jana the Gunners
0 komentar:
Posting Komentar